Pintu-pintu Menuju Kemuliaan
Oleh: Dr A Ilyas Ismail
Iman (agama) seperti diterangkan Nabi SAW dalam hadis sahih, memiliki
cabang yang banyak sekali jumlahnya, mulai dari komitmen tauhid, “Tidak
ada Tuhan selain Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan
kesehatan lingkungan, seperti memungut dan menyingkirkan hambatan di
jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada dasarnya bukan
hanya kata-kata yang diucapkan (kalimatun tuqal), melainkan suatu
keputusan yang menuntut tugas dan tanggung jawab multidimensional,
berupa kepatuhan kepada Tuhan (devotional), kepedulian kepada sesama
manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias akhlaq al-karimah
(moral).
Menarik disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar keimanan para sahabat. Katanya, “Siapa yang pagi ini puasa?”
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
“Siapa yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi.
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin?”
Abu Bakar pun menjawab, “Saya Tuan.”
Lalu, Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?”
Lagi-lagi Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata, “Saya tuan.”
Lalu, beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri seorang, kecuali ia masuk surga.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Kisah ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar, sahabat
Nabi yang satu ini, memang istimewa. Ia selalu bersama Nabi di kala suka
dan duka. Ia adalah sahabat yang menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat
orang kafir, pembunuh bayaran, mengejar hendak membunuhnya. Ia selalu
membenarkan, tanpa ragu sedikit pun, apa-apa yang dibawa dan disampaikan
oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq layak disandangnya. Ia pun pantas
menjadi pengganti Nabi (Khalifah) pertama.
Kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah itu tidaklah tunggal,
melainkan berbilang (muta`ddidah). Setiap kebaikan sejatinya adalah
pintu atau jalan menuju Tuhan. Setiap orang dapat mengambil pintu atau
jalan yang memungkinkan dirinya “bertemu” Allah, setingkat dengan ilmu,
kemampuan, dan pengalamannya masing-masing.
Kisah ini juga menunjukkan pilar-pilar kebajikan yang diajarkan
Islam. Di antaranya pilar kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT
(ibadah). Dalam kasus ini, kebajikan itu ditunjukkan dengan ibadah
puasa, shalat, dan mengantar jenazah. Kebajikan ini berdimensi vertikal.
Berikutnya pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang ditunjukkan
melalui kesediaan memberi makan kepada orang miskin. Kebajikan ini
berdimensi sosial dan horizontal. Lalu berikutnya lagi, adalah pilar
akhlak dan keluhuran budi pekerti, yang ditunjukkan dengan menjenguk
orang sakit. Kebajikan ini berdimensi moral dan sekaligus sosial.
Dalam Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW seperti diperagakan
oleh Abu Bakar al-Shiddiq itu dinamakan al-Birr, yaitu kebajikan yang
lapang dan luas (QS al-Baqarah [2]: 177).
Kebajikan di sini menunjuk bukan hanya pada aspek-aspek lahiriah dari
agama, melainkan justru aspek batin (inner aspect) yang menjadi
kekuatan penggerak lahirnya kebaikan sosial (amal saleh) dan
kulaitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah). Inilah jalan atau pintu
menuju kemulian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar