Senin, 21 Mei 2012

Bekerja, Jangan Meminta

Oleh Dr. A. Ilyas Ismail, MA

Pada suatu hari, sahabat Abu Sa`id al-Khudzri tidak memiliki apa pun untuk sarapan pagi. Istrinya meminta al-Khudzri agar datang kepada Rasulullah SAW. Sudah umum diketahui, siapa pun datang dan meminta sesuatu kepada Rasul, beliau pasti memberikannya. Namun, al-Khudzri menolaknya,  sampai suatu ketika ia begitu terpaksa, lalu datang ke rumah Nabi. Sesampainya di kediaman Nabi, beliau sedang memberi wejangan (khutbah). "Siapa merasa cukup, Allah mencukupkannya. Siapa memelihara diri (dari minta-minta), Allah pun memeliharanya." Mendengar nasihat Nabi itu, al-Khudzri mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumahnya. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Beberapa pelajaran berharga bisa dipetik dari kisah ini. Pertama, al-Khudzri, seperti para sahabat umumnya, memiliki tingkat kepatuhan yang sangat tinggi terhadap seruan Nabi. Mereka tak pernah menawar, tetapi  selalu taat dan patuh (sami`na wa atha`na). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]: 7).

Kedua, al-Khudzri berusaha menjaga dan memelihara diri dari sikap minta-minta, lantaran hal demikian termasuk perbuatan yang tercela. Seperti diceritakan dalam Alquran, meski mendapat kesulitan, para sahabat pantang meminta-minta (mengemis). (QS al-Baqarah [2]: 273).

Ketiga, jalan untuk mendapatkan rezeki adalah bekerja dan berusaha, bukan minta-minta. Sejak mendengar nasihat Nabi SAW, al-Khudzri tak pernah lagi berpikir minta-minta, tetapi bekerja dan berusaha. Seperti diakui al-Khudzri dalam kisah ini, bahwa dengan usaha dan kerja keras, ia dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, bahkan ia tergolong orang yang paling kaya di kalangaan sahabat Anshar.

Kerja menjadi penting karena ia merupakan indikator keberadaan manusia. Tanpa kerja, manusia sama dengan tidak ada (wujuduhu ka `adamihi). Kerja juga penting, karena ia menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa mengaktualisasikan bakat-bakat dan kemampuan yang dimilikinya.

Seterusnya, kerja penting karena hanya dengan bekerja manusia dapat membebaskan diri dari ketergantungan secara ekonomi dengan pihak-pihak lain. Lebih lanjut, kerja menjadi lebih penting lagi, karena dengan bekerja manusia bisa memperbanyak investasi kebaikan untuk kebahagiaannya sendiri di dunia dan akhirat. (QS al-Kahfi [18]: 110).

Belajar dari pengalaman al-Khudzri ini, kita sesungguhnya tak boleh membantu orang-orang miskin hanya dengan membagi-bagikan uang semata. Cara ini selain tidak mendidik, juga tidak produktif, karena menciptakan ketergantungan abadi. Yang terbaik adalah membantu mereka agar mereka bisa membantu diri sendiri, dengan filosofi Help people for the help himself. Caranya, mereka dibantu agar mengenali potensi-potensi mereka dan mengaktualisakannya sebaik mungkin, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka secara mandiri, baik material maupun spiritual. Inilah sesunggunya etos dan pesan moral yang disampaikan Nabi SAW kepada al-Khudzri, yaitu  kerja dan bukan minta-mita.

 Jalan Tuhan

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Menurut al-Ghazali, agama adalah jalan atau perjalanan menuju Allah. Dalam terminologi sufistik, perjalanan ini dinamai al-Suluk, sedangkan pelakunya dinamai al-Salik, sang penempuh perjalanan, dan yang dituju (al-Mathlub) adalah Allah SWT (Mizan al-`Amal, 1979).
Dalam bahasa yang lebih umum, perjalanan ini dinamai taqarrub, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah. Taqarrub ini valid, absah, karena Allah adalah dekat, qarib (al-Baqarah [2]: 186), bahkan lebih dekat dari urat nadi manusia. (QS Qaf [50]: 16).
Dalam Alquran, agama memang dilambangkan dengan jalan. Agama disebut sabilillah, jalan Allah, shirath al-Mustaqim, jalan lurus, lalu syari`ah atau syir`ah, dan minhaj, yang semuanya berarti jalan, tepatnya jalan Tuhan. Kata sabil diulang sebanyak 176 kali, shirath 145 kali, syari`ah dua kali, dan minhaj satu kali. (Mu`jam al-Mufahras li Alfazh Alquran).
Filosofi jalan ini menarik dan perlu dipahami. Ibarat jalan, agama atau beragama tidak boleh putus. Ia merupakan perjalanan yang konstan dan terus-menerus (constant and continuous journey) hingga sampai di ujung perjalanan pada waktu kita bertemu dengan Allah. (QS al-Hijr [15]: 99).
Jalan Tuhan (sabilillah), menurut Sayyid Quthub, mengandung tiga makna dasar. Pertama, al-Haqq al-Muthlaq, kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sejati, merupakan kebenaran universal (kulliyyat), bukan kebenaran partikular (juz’iyyat). Terma al-Haqq itu sendiri secara bahasa berarti kuat dan mantap. Maka itu, agama Islam, Alquran, dan Allah swt disebut al-Haqq. (QS al-Isra [17]: 81).
Kedua, jalan tuhan bermakna al-Khair al-Muthlaq (kebaikan mutlak). Dalam Alquran dibedakan antara al-Khair dan al-Ma`ruf. Kata al-Khair menunjuk kepada kebaikan universal, sedangkan al-Ma`ruf berarti kebaikan yang dikenal oleh suatu masyarakat. Dengan kata lain, al-Ma`ruf adalah kebaikan budaya atau yang sekarang dinamakan kearifan lokal. Islam mengajarkan al-Khair, sekaligus mengakui dan menyuruh kepada yang ma`ruf (QS Ali Imran [3]: 104).
Ketiga, jalan Tuhan bermakna al-`Adl al-Muthlaq (keadilan mutlak). Seperti diketahui, adil adalah suatu keutamaan (fadhilah), pangkal dari segala kebaikan. Dalam Alquran, adil disebut sebagai nilai tertinggi yang paling mendekati takwa (QS al-Maidah [5]: 8). Adil juga merupakan hukum kosmik, yang harus ditegakkan agar tidak terjadi kekacauan, chaos. (QS al-Rahman [55]: 7-8).
Inilah tiga nilai dasar yang terkandung dalam agama sebagai jalan Tuhan, yaitu jalan kemuliaan. Peradaban Islam sesungguhnya berakar pada tiga nilai dasar ini. Agama, karenanya dapat disebut sebagai induk dari peradaban (the mother of culture and civilization).
Setiap orang beriman, dipanggil agar menghidupkan nilai-nilai dasar, yang menjadi pangkal keadaban itu, agar dunia dalam usianya yang semakin tua, tidak terjebak pada ancaman kekerasan dan kebiadaban. “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS al-An`am [6]: 153)

Keunggulan Manusia

Oleh: Dr A Ilyas Ismail

Sebagai makhluk dengan citra ketuhanan, manusia memiliki banyak keunggulan. Manusia adalah makhluk batin (QS at-Tin 4). Manusia lebih mulia dari makhluk lain (QS al-Isra’ 70). Puncaknya, manusia ditunjuk oleh Allah SWT sebagai khalifah, wakil-Nya, di muka bumi. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadika seorang khalifah di muka bumi’.” (QS Al Baqarah 30).
Secara sufistik, manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan. Maksudnya, alam diciptakan karena manusia. Dalam hadits qudsi disebutkan: “Wa laulaka, wa laulaka ma khalaqtu ‘alam (Kalau bukan karena kamu, kalau bukan karena kamu, Aku tak menciptakan ala mini).” Kata ‘kami’ dalam firman ini menunjuk kepada Nabi Muhammad SAW sebagai insane kamil, yaitu manusia paripurna yang telah mampu mentransmisi dan mengaktualisasi semua potensi keunggulannya dengan baik, par excellent.
Manusia, kata Jalaluddin Rumi, ibarat bua pohon (tsamrah). Buah pohon lahir lebih belakang daipada dahan dan rating. Akan tetapi, semua petani menanam pohon pasti karena mengharap buahnya. Sebab, pohon tanpa buah sama dengan kesia-siaan alias kurang bermanfaat. Kalau begitu, meski manusia diciptakan belakangan, ia merupakan inti sel (nucleus) dari alam ini.
Sebagian dari keunggulan manusia itu sudah dikenali dengan baik seperti tubuh (fisik)-nya, tetapi
sebagian yang lain belum dikenali semua, seperti mental (kecerdasan berpikir) dan potensi rohani (spiritualitas). Dalam Alquran, disebutkan banyak potensi dan keunggulan manusia, misalnya, jiwa (nafs), fitrah (fitrah), akal pikiran (‘aql), akal hati (lubb), hati (fu’ad), mata hati (bashira), kalbu (qalb), dan roh (ruh). Sains modern baru berbicara tentang badan kasar (fisik) manusia ditamba mental (jiwa) dan belum banyak berbicara mengenai potensi rohani. Oleh sebab itu, sebagian saintis semacam Alexis Carrel merasa lebih tepat menyebut manusia sebagai the unknown atau al-Insan dzalika al-majhul (manusia adalah makhluk yang belum dikenali sepenuhnya).
Seperti telah dikemukakan, di antara keunggulan manusia itu adalah potensi kecerdasan dan ilmunya. Nabi Adam AS ditunjuk menjadi khalifah karena ilmunya (QS al Baqarah 31). Dari sini timbul ungkapan “knowledge is power” (Ilmu adalah kekautan). Perlu diketahui, ilmu menjadi kekuatan manakala terpenuhi tiga syarat.
Pertama, profound knowledge (ilmu yang luas dan dalam), karena ilmu yang terbatas apalagi cetektak menjadi kekuatan. Kedua, applied knowledge (ilmu yang diamalkan), karena ilmu yang tak diamalkan sama dengan pohon yang tidak berbuah (ka al-syajar bila tsamar). Ketika, ilmu harus menjadi alat dan cara (metode) untuk mencapai visi atau cita-cita mulia (as a tools to get faster the ultimate goal).
Keunggulan manusia tak hanya berarti orang (man power), tetapi pemikiran dan ilmu (mind power), bahkan orang dengan kualitas total (toal quality people) yang menyatu dan berpadu dalam dirinya trilogy keunggulan Islam, yaitu Iman, Ilmu, dan Amal.

Pintu-pintu Menuju Kemuliaan

Oleh: Dr A Ilyas Ismail
 
Iman (agama) seperti diterangkan Nabi SAW dalam hadis sahih, memiliki cabang yang banyak sekali jumlahnya, mulai dari komitmen tauhid, “Tidak ada Tuhan selain Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, seperti memungut dan menyingkirkan hambatan di jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada dasarnya bukan hanya kata-kata yang diucapkan (kalimatun tuqal), melainkan suatu keputusan yang menuntut tugas dan tanggung jawab multidimensional, berupa kepatuhan kepada Tuhan (devotional), kepedulian kepada sesama manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias akhlaq al-karimah (moral).
Menarik disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar keimanan para sahabat. Katanya, “Siapa yang pagi ini puasa?”
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
“Siapa yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi.
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin?”
Abu Bakar pun menjawab, “Saya Tuan.”
Lalu, Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?”
Lagi-lagi Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata, “Saya tuan.”
Lalu, beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri seorang, kecuali ia masuk surga.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Kisah ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar, sahabat Nabi yang satu ini, memang istimewa. Ia selalu bersama Nabi di kala suka dan duka. Ia adalah sahabat yang menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat orang kafir, pembunuh bayaran, mengejar hendak membunuhnya. Ia selalu membenarkan, tanpa ragu sedikit pun, apa-apa yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq layak disandangnya. Ia pun pantas menjadi pengganti Nabi (Khalifah) pertama.
Kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah itu tidaklah tunggal, melainkan berbilang (muta`ddidah). Setiap kebaikan sejatinya adalah pintu atau jalan menuju Tuhan. Setiap orang dapat mengambil pintu atau jalan yang memungkinkan dirinya “bertemu” Allah, setingkat dengan ilmu, kemampuan, dan pengalamannya masing-masing.
Kisah ini juga menunjukkan pilar-pilar kebajikan yang diajarkan Islam. Di antaranya pilar kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT (ibadah). Dalam kasus ini, kebajikan itu ditunjukkan dengan ibadah puasa, shalat, dan mengantar jenazah. Kebajikan ini berdimensi vertikal.
Berikutnya pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang ditunjukkan melalui kesediaan memberi makan kepada orang miskin. Kebajikan ini berdimensi sosial dan horizontal. Lalu berikutnya lagi, adalah pilar akhlak dan keluhuran budi pekerti, yang ditunjukkan dengan menjenguk orang sakit. Kebajikan ini berdimensi moral dan sekaligus sosial.
Dalam Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW seperti diperagakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq itu dinamakan al-Birr, yaitu kebajikan yang lapang dan luas (QS al-Baqarah [2]: 177).
Kebajikan di sini menunjuk bukan hanya pada aspek-aspek lahiriah dari agama, melainkan justru aspek batin (inner aspect) yang menjadi kekuatan penggerak lahirnya kebaikan sosial (amal saleh) dan kulaitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah). Inilah jalan atau pintu menuju kemulian!

Saling Memuliakan

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Diceritakan, Zaid ibn Tsabit, seusai pemimpin shalat jenazah, langsung menuju kendaraan (bighal)-nya yang diparkir tak jauh dari masjid. Tiba-tiba datang Abdullah ibn Abbas, memegang kendali bighal dan mengemudikannya. Zaid mencegahnya, tetapi Abdullah terus mengemudikannya sambil berkata: “Demikian aku diperintah (oleh Rasul) untuk menghormati ulama.” Zaid lantas meminta Abdullah menjulurkan tangannya. Ia pun memberikannya, lalu Zaid memegang dan menciumnya berkali-kali. Katanya, “Demikian aku diperintah (oleh Rasul) untuk menghormati dan mencintai keluarga Nabi.” (HR Hakim dalam al-Mustadark).
Sungguh menarik apa yang diperlihatkan oleh dua orang tokoh sahabat Nabi itu. Abdullah tidak ragu-ragu memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Zaid, teman dan senior-nya yang dikenal sebagai ulama. Seperti diketahui, Zaid adalah penulis wahyu pada masa Nabi. Ia juga ketua Tim Sembilan yang ditunjuk oleh Khalifah Utsman untuk merampungkan tugas kodifikasi Alquran. Zaid juga merupakan salah seorang imam bacaan Alquran (imam al-qira’ah) di Madinah.
Penghormatan Abdullah kepada Zaid dapat dipandang sebagai penghormatan karena ilmu. Seperti dimaklumi, Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan dan memuliakan orang-orang yang berilmu (ulama). Nabi Adam AS, seperti dikisahkan dalam Alquran, dinobatkan sebagai khalifah, mengalahkan kompetitor terberatnya, yaitu para malaikat, adalah karena ilmu atau potensi intelektualitasnya. (QS al-Baqarah [2]: 30). Allah SWT sendiri memberikan kemuliaan kepada para ulama beberapa derajat. (QS al-Mujadilah [58]: 11).
Meskipun dimuliakan sebagai ulama, Zaid ibn Tsabit tidak lantas membusungkan dada. Ia tetap rendah hati (tawadhu`). Ia mencium tangan Abdullah berkali-kali sebagai penghormatan dan ekspresi cinta kepada keluarga Nabi. Seperti diketahui, Abdullah adalah sepupu Nabi, anak pamannya, Abbas ibn Abd al-Muthtalib. Nabi SAW sangat mencintai Abdullah. Sewaktu kecil, Abdullah pernah didoakan oleh Nabi agar pandai dalam agama dan tafsir.
Penghormatan Zaid kepada Abdullah dapat dipandang sebagai penghormatan kepada keluarga Nabi. Setiap Muslim sudah sepatutnya menghormati dan mencintai keluarga Nabi. Dalam shalat kita diperintahkan agar berselawat kepada Nabi SAW dan kepada keluarganya, “Allahumma shalli `ala Muhaammad wa `ala ali Muhammad.” Dalam Alquran disebutkan bahwa Allah melimpahkan rahmat dan keberkahan kepada kelurga Nabi. “Para Malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS Hud [11]: 73).
Pada masa kita sekarang, adab saling mencintai dan menghormati ini dirasakan semakin langka dan semakin menjauh dari kehidupan kita. Pasalnya, dalam banyak hal, kita bukan saling menghormati, melainkan saling merendahkan. Ironisnya lagi, para pemimpin, tokoh, dan pemuka masyarakat justru saling bertengkar, saling menghujat, dan saling merendahkan satu dengan yang lain. Maka itu, kita perlu belajar lebih banyak lagi dari teladan Nabi SAW dan para sahabat-nya.

 Agar Ilmu Menjadi Kekuatan

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan dan menghormati orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, yaitu para ilmuwan dan ulama. Allah meninggikan orang-orang yang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. (QS al-Mujadilah [58 ]: 11).
Ilmu menjadi dasar keutamaan manusia dan menjadi penentu kemuliaannya. Penunjukan Nabi Adam AS sebagai khalifah tak lain adalah karena ilmu (potensi intelektualitas)-nya, sehingga ia mampu mengalahkan pesaing (kompetitor) terberatnya, yaitu para malaikat (QS al-Baqarah [2]: 30).
Dalam Islam, ilmu tidak hanya untuk ilmu, tetapi untuk kebaikan dan ibadah. Ilmu harus melahirkan amal atau tindakan nyata. “Knowing is not enough.” Kita harus berbuat dan bekarja sesuai ilmu yang dimiliki.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Darda’, sahabat Nabi yang dikenal alim ini, berdiskusi dengan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Diskusi sampai kepada soal-soal keakhiratan (eskatologi). Tiba-tiba, Abu Darda’ menangis, air matanya meleleh. Peserta diskusi pun terheran dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis? Abu Darda’ menjawab, “Aku takut kelak di akhirat ditanya, ‘Apakah kamu punya ilmu dan apakah kamu melakukan apa yang kamu ketahui’?” (Rijal haula al-Rasul, hlm 362).
Diskusi dan dialog di majelis ilmunya Abu Darda’ ini menarik disimak. Pertama, Abu Darda’, sang pengasuh majelis adalah salah seorang sahabat yang tidak hanya alim, tetapi juga takwa dalam arti memiliki rasa takut bercampur kagum (khasy-yah) yang tinggi kepada Allah. Yang demikian memang salah satu ciri dari seorang ulama. (QS Fathir [35]: 28).
Kedua, objek (materi) diskusi tak melulu soal-soal dunia yang dari hari ke hari tak ada habis-habisnya. Diskusi soal keakhiratan penting untuk mempertinggi keimanan dan memperkuat daya ingat pada kematian. “Orang yang benar-benar pandai adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan bekerja (memperbanyak bekal) untuk kebahagiaan hidup setelah mati.” (HR Ibnu Majah dan Thurmidzi dari Syadad bin Aus).
Ketiga, ilmu merupakan salah satu aspek yang membentuk kualiatas keberagamaan (takwa) di samping aspek iman dan amal shaleh. Disadari, ajaran Islam, menurut ulama besar dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, berwatak “Mutakamil” (saling menyempurnakan). Ilmu, misalnya, memperkuat iman, tetapi tanpa iman, ilmu kurang berguna. Begitu juga, amal membutuhkan ilmu, tetapi ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah alias kesia-siaan.
Dilihat dari perspektif Abu Darda’, ungkapan, “ilmu adalah kekuatan” (knowledge is power) tidaklah berdiri sendiri, tetapi terikat oleh kekuatan yang lain, yaitu iman di satu sisi dan amal shaleh di sisi yang lain.
Di sini, ilmu benar-benar menjadi kekuatan apabila ia diamalkan dan dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh kemulian di akhirat. Soalnya, seperti diketahui, betapa banyak orang yang mengetahui, tetapi betapa sedikit orang yang melakukan apa yang mereka ketahui itu. Inilah yang membuat sahabat Abu darda’ menangis.

 Pilar-Pilar Taqwa

 Oleh: Dr A Ilyas Ismail, MA

Secara sederhana, takwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Atau dari sudut lain, takwa adalah akumulasi dari nilai-nilai Islam yang membentuk kepribadian orang yang beriman. Jika demikian, lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pilar-pilar takwa itu sendiri? Inilah yang coba dijawab oleh buku ini dan hadir ke tengah pembaca semua.
Dengan bahasa yang begitu mudah dipahami, mengalir dan enak dibaca, penuh hikmah, motivasi diri, serta pencerahan spiritual, buku ini memadukan pandangan, pemikiran, dan perenungan penulisnya dengan berbagai sumber literatur Islam, sehingga benar-benar merupakan pilar-pilar penting untuk membentuk ketakwaan yang hakiki. Ketakwaan yang sejatinya menjadi identitas setiap pribadi beriman.

Tiga Moral Kepemimpinan Rasulullah SAW


Oleh: Dr A Ilyas Ismail

Sejak pengujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.

Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, “Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.

Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.


Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).

Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”

Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral pemimpin.