Kamis, 14 Juli 2011

INTEGRITAS PENEGAK HUKUM

Oleh: Dr. A. Ilyas Ismail

Sikap dan prilaku hakim selalu disorot baik pada masa lalu apalagi pada masa sekarang ini. Pasalnya, hakim selain memiliki autoritas dan kekuasaan yang besar, juga acapkali menghadapi godaan yang juga luar biasa besar, terutama godaan harta dan kekayaan dunia.
Menarik disimak, hadits yang sangat popular yang dirawikan oleh para pengarang kitab Sunan bahwa para hakim itu hanya tiga (3) orang saja. Satu orang di sorga, dan dua lainnya di neraka. Seorang yang di sorga, adalah hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan hukum dengan kebenaran itu. Ia di sorga. Seorang lagi, hakim yang mengetahui kebenaran, tapi culas. Ia tidak menetapkan hukum berdasr kebenaran. Ia di neraka. Yang satu lagi, hakim yang bodoh, tidak tahu kebenaran, dan menetapkan hukum atas dasar hawa nafsu. Ia juga di neraka. (HR. Abu Daud, Thirmidzi, dan Ibn Majah).
Jadi, hakim yang benar dan jujur, berdasarkan hadits di atas, hanya 1/3, sedangkan 2/3, sisanya, adalah hakim-hakim yang korup dan culas. Hadits ini, menurut pakar hadits, al-Munawi, merupakan teguran dan peringatan bagi para hakim, agar mereka menjaga kejujuran dan integritas yang tinggi. Hadits ini, lanjut al-Munawi, berbicara pada tataran realitas (bi hasb al-wujud), dan bukan berdasarkan idealitas-formal (la bi hasb al-hukm).
Dalam al-Qur’an, para penguasa dan semua aparat penegak hukum, termasuk para hakim, dipatok untuk memiliki dua sifat dasar, yaitu adil dan amanah. Tanpa dua sifat ini, para aparat penegak hukum, sulit tidak terjebak pada kejahatan dan praktek mafia hukum. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 58).
Ayat ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qardhawi, sangat penting, dan secara khusus ditujukan kepada para penguasa. Adil dalam ayat ini berarti memahami kebenaran (hukum-hukum Allah), dan menetapkan perkara atas dasar kebenaran itu dengan jujur, adil, dan tanpa pandang bulu sesuai prinsip equal before the law. Sedangkan amanat bermakna, antara lain, bertanggung jawab, memegang teguh sumpah jabatan, profesioanl, serta menjunjung tinggi kemuliaan hakim dan lembaga peradilan.
Menurut Umar Ibn `Abd al-`Azis, khalifah yang dikenal sangat adil, integritas para penegak hukum itu sangat ditentukan oleh kompetensi intelektual, moral, dan spiritual mereka dalam 5 hal. Apabila satu saja tak terpenuhi dari lima kompetensi itu, demikian Abd al-`Azis, maka para penegak hukum itu, tidak akan selamat dari aib atau keburukan.
Kelima kompetensi itu, secara berturut-turut dikemukakan seperti berikut ini. Pertama, fahiman, memahami dengan baik soal hukum. Kedua, haliman, memiliki hati nurani dan sifat santun. Ketiga, `afifan, memelihara diri dari dosa-dosa dan kejahatan. Keempat, shaliban, sikap tegas memegang prinsip. Kelima, `aliman saulan `an al-`ilm, memiliki ilmu dan wawasan yang luas, serta banyak berdiskusi.
Hanya melalui penegak hukum dengan moralitas dan integritas yang tinggi, hukum, dan keadilan bisa ditegakkan di negeri ini. Lain tidak! Wallahu a`lam!

KUASA DAN MORAL


Oleh: Dr. A. Ilyas Ismail

          Dalam urusan duniawi, kuasa atau kekuasaan dianggap sebagai hal yang paling tinggi. Soalnya, dengan kuasa yang dimiliki, seorang bisa membayangkan hal-hal yang indah, seperti kekayaan, kehormatan, kenyamanan, dan kemudahaan dalam segala hal. Itu sebabnya, kata Imam Ghazali, kuasa itu memiliki daya tarik yang sangat tinggi. Bahkan bagi sebagian orang, syahwat politik itu, tak pernah padam, terus membara sepanjang hayat.
            Penting diingat, kuasa dan kekuasaan itu bukanlah sesuatu yang buruk pada dirinya sendiri, Bahkan dalam pengertian asalnya, kekuasaan (politik)  merupakan sesuatu yang mulia, sebagai seni mengelola kota untuk kebaikan dan kemulian bersama seluruh penduduk negeri (Aristotelian). Tapi, kemudian terjadi stigma ketika kekuasaan (politik) tak lagi diabdikan untuk kemaslahatan bersama, melainkan hanya untuk kepentingan para elite yang korup dan despotik (Machiavellian).
            Untuk itu, dalam fikih politik Islam (fiqh al-siyasah), kuasa tak boleh dipisah dan dilepas dari ikatan moral yang kuat. Kuasa tak boleh berjalan sendiri tanpa bimbingan dan arahan moral. Dalam hal ini, yang pertama dan utama adalah keharusan bersikap dan berlaku adil bagi para penguasa (`adalah al-imam). Dalam banyak hadits shahih, diterangkan bahwa imam yang adil (imamun `adil) adalah kelompok pertama yang akan mendapat perlindungan dari Allah swt kelak di akhiratk.
            Namun, yang dimaksud adil di sini adalah keadilan yang luas dan dalam yang memenuhi segala unsur dan seginya (al-Jami` li syuriutiha). Menurut sebagian ulama, adil di sini setara dengan makna syariat atau agama itu sendiri. Dengan pengetian ini, seorang pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi (al-imam) tak disebut adil bila tidak memahami dan melaksaanakan syariat dan ajaran agama dengan baik sembari mendengarkan secara saksama nasehat dan bimbingan darti para ulama.
            Dalam buku al-Tibr al-Masbuk Fi Nashihat al-Muluk (Nasehat Bagi Para penguasa),  al-Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang menjadi muatan sikap adil penguasa. Diantaranya yang terpenting adalah lima prinsip berikut ini. Pertama, penguasa harus mengerti arti penting  kekuasaan dan sekaligus mengerti bahayanya (an ya`rif qadra al-wilayah wa khathariha). Kedua, penguasa tidak boleh berlepas tangan (hand up) dari berbagai kerusakan dan kezaliman yang terjadi dalam masyarakat. Ia harus mengontrol dan mencegah semua aparat dan petugas Negara dari kemungkiinan berlaku zalim kpada rakyat.
Ketiga, penguasa harus memiliki kepekaan sosial (sense of crisis) dan ketajaman nurani. Alasannya, pengusasa itu juga manusia, sama dengan masyarat itu sendiri. Oleh sebab itu, demikian al-Ghazali, kalau ia merasa susah, dan tidak suka, dengan hal-hal yang tidak nyaman, seperti kumuh, miskin, macet, lapar, dan setersunya, maka hal yang demikian juga dirasakan oleh orang lain. Kelima, penguasa harus bersikap santun dan kasih sayang kepada rakyat. Nabi mendo’akan kemuliaan di hari Kiamat bagi penguasa yang santun dan pengasih.
Integrassi kuasa dan moral ini bukan hanya penting, melainkan menjadi penentu (determinant factor) bagi kemaslahatan dan kemajuan suatu bangsa. Wallahu a`lam!